728x90 AdSpace

Latest News
24 August 2012

Catatan Kritis Gugatan Atas UU SJSN dan RUU BPJS

Subsidi yang digembar gemborkan oleh rezim neoliberal, bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu akan dibayar oleh pemerintah adalah sangat tidak jelas. Garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY sangat jauh dari kondisi kenyataan yang ada. Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah individu yang pengeluarannya sebesar Rp 7.000,- perhari. Tentu saja ini akan menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia turun drastis dan memunculkan orang kaya baru. Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan tidak akan lagi masuk dalam kategori miskin. Padahal banyak sekali rakyat Indonesia, walaupun memiliki penghasilan lebih dari Rp 7.000,- perhari, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Namun jelas, dengan turun drastisnya angka kemiskinan di Indonesia, maka subsidi yang dipersiapkan oleh pemerintah RI untuk orang miskin akan semakin sedikit.

Lalu apa permasalahan dengan UU SJSN dan RUU BPJS yang pasti akan disetujui bulan Agustus ini? Seperti layaknya agenda neoliberalisme lainnya yang meminimalkan peran dan tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajibannya, dalam UU SJSN ini juga termaktub klausul yang serupa. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Walaupun namanya adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional, namun isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Dalam bab 5 pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 UU SJSN sangat jelas penyusupan kepentingan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan dari sistem jaminan sosial di Indonesia. Ayat 1: Tiap pesertawajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuran sebagaimana pasal (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Dari pasal 17 ayat 1, 2, dan 3 tersebut menjelaskan, bahwa adanya pemaksaan kepada rakyat untuk ikut dalam asuransi sosial yang dibangun oleh rezim neoliberal. Hal ini bahkan dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 yang menyatakan: “Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib, yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya”.

Sementara itu, BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan: BPJS berwenang untuk “menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehatian-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai”. Dengan demikian BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan, seperti saham, obligasi, dan deposito perbankan. Dana yang dikumpulkan secara paksa dari 250 juta rakyat Indonesia tersebut nantinya akan disetor ke BPJS, lalu dikuasakan ke segelintir orang yang tergabung dalam Wali Amanah, yang sangat independen dan tidak boleh ada campur tangan pemerintah. Dana yang terkumpul itu akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) digabungkan, maka akan terkumpul dana sekitar 190 triliun rupiah.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan rezim neoliberal untuk mem-bailout sektor finansial jika terjadi krisis. Pada tahun 2008 misalnya, Pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh pemilik modal asing. Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan RUU tersebut adalah para pemilik modal dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu mengapa pemilik modal dan agen lembaga neoliberal asing, seperti ADB, berambisi untuk menggolkan RUU ini menjadi Undang-Undang.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang menjadi solusi penentang RUU BPJS dan UU SJSN juga kenyataannya tidak akan menyelesaikan masalah. Praktik pemberian Jamkesmas kepada orang miskin yang membutuhkan, ternyata malah memperumit rakyat miskin untuk mengaksesnya. Anggaran APBN di tahun 2011 saja hanya Rp 5,6 triliun, jika ditambah dengan Jampersal (Jaminan Persalinan) maka akan berjumlah Rp 6,3 triliun saja. Artinya akan sangat banyak rakyat miskin yang tidak dapat ditutupi oleh anggaran Jamkesmas tersebut. Belum lagi banyaknya rumah sakit yang menolak atau bahkan bangkrut, karena dana Jamkesda (Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah) untuk rumah sakit di daerah tidak kunjung dibayar oleh pemerintah pusat. Keterbatasan dana anggaran Jamkesmas hingga saat ini akhirnya menyebabkan banyak rakyat miskin yang terpaksa ditolak untuk turut dalam program Jamkesda, sehingga mereka terdaftar sebagai pasien umum biasa di berbagai rumah sakit.

Hak akan jaminan kesehatan merupakan hak dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemenuhan terhadap hak dasar rakyat Indonesia jelas merupakan tanggung jawab dari negara. Maka dari itu, negara seharusnya lebih mementingkan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan segelintir orang. Negara seharusnya mampu memberikan layanan kesehatan gratis kepada seluruh rakyat, hanya dengan cara menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau KK (Kartu Keluarga) bagi rakyat yang membutuhkan layanan kesehatan tersebut. Sudah beberapa daerah di Indonesia, seperti Solo dan Aceh, menerapkan hal tersebut dan mampu memberikan layanan kesehatan gratis hanya dengan menunjukkan KTP atau KK.

Untuk pembiayaan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia, sebenarnya negara dapat memastikan pembayaran pajak yang dilakukan oleh korporasi (perusahaan), bahkan meningkatkan pajak progresif bagi korporasi. Pada tahun 2010 saja, potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 80 triliun. Rinciannya, Ditjen Pajak sebesar Rp 54 triliun, Ditjen Bea dan Cukai sebesar Rp 16 triliun dan piutang migas sebesar Rp 4,2 triliun. Ini belum termasuk temuan BPK atas piutang 35 perusahaan migas yang tidak mau membayar pajaknya sebesar Rp 5,2 triliun.

Pengemplang pajak oleh para pemilik modal malah seakan-akan dibiarkan berlangsung sejak lama oleh rezim neoliberal. Hal ini menunjukkan bahwa rezim neoliberal memang ingin memberikan “kenyamanan” kepada pemilik modal, sementara di sisi lain menghancurkan kehidupan rakyat. Selain itu, dengan dalih keterbatasan anggaran, rezim neoliberal melakukan pemangkasan belanja fungsi kesehatan dari Rp 19,8 triliun di APBN 2010 menjadi Rp 13,6 triliun di APBN 2011. Namun di sisi lainnya, rezim neoliberal memang berfoya-foya dengan anggaran yang dimilikinya. Untuk jumlah anggaran

Jamkesmas 2011 saja, hanya sebesar Rp 5,6 triliun, sedangkan “dana plesiran” pemerintah sebesar Rp 24,5 triliun. Pada tahun 2010, pejabat negara dari presiden, 13 kementerian atau lembaga, sampai DPR RI menghabiskan Rp 19,5 triliun untuk studi banding ke luar negeri, yang jumlahnya empat kali lebih banyak dari anggaran Jamkesmas, yang hanya Rp 4,5 triliun.

Pembiaran yang dilakukan oleh rezim neoliberal terhadap para pengemplangan pajak, yang pelakuknya adalah para pemilik modal, serta gaya hidup bermewah-mewah dari rezim neoliberal menunjukkan, bahwa rezim neoliberal memang tidak memikirkan sama sekali nasib rakyat Indonesia. Bahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang seharusnya diperuntukkan guna menjamin adanya perlindungan sosial pun akhirnya dimanipulasi oleh rezim neoliberal untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal.

Tindakan yang sudah bertahun-tahun lamanya ini, tentu saja akan terus berulang, selama tidak adakekuatan politik alternatif dari elemen gerakan rakyat. Mereka akan dengan sewenang-wenangnya membuat berbagai kebijakan hanya untuk kepentingannya mereka sendiri. Artinya kebutuhan kekuatan politik alternatif dari seluruh elemen gerakan rakyat menjadi sangat penting untuk menentukan jalan kesejahteraan yang dipilih oleh rakyat.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Catatan Kritis Gugatan Atas UU SJSN dan RUU BPJS Rating: 5 Reviewed By: Unknown