728x90 AdSpace

Latest News
16 September 2012

Buruh Migran, Politik Perampasan Upah

PENGANTAR

Ekonomi pasar bebas (Free Market) yang digembar-gemborkan dapat mempercepat kemajuan ekonomi negeri kapitalis terbelakang, seperti Indonesia, nyatanya hanya pepesan kosong semata. Lihat saja, pertumbuhan ekonomi yang meningkat 6,4% plus cadangan devisa sebesar 105,7 Miliar Dollar AS serta kredit perbankan meningkat sebesar 24,6% (year on year) atau mencapai Rp1.772,4 triliun, tetapi tidak banyak pengaruhnya terhadap peningkatan upah, penambahan lapangan kerja, apalagi standar hidup yang layak. Faktor utama rendahnya kesejahteraan buruh dan rakyat bukan sekedar karena inflasi yang tinggi 6,65% atau infrastruktur (transportasi, jalan, listrik) lemah seperti yang didengungkan oleh IMF dan ekonom borjuis sebagai overheating, problematikanya lebih jauh daripada itu, lebih fundamental.

Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata antara sebesar 6,4-6,9 persen dan 6,7-7,4 persen pada tahun 2012 dan 2013. Pertumbuhan ekonomi pada akhir 2014 ditargetkan 7 persen. Bukankah proyeksi optimis ini hanyalah sebuah harapan kosong bila kita melihat kenyataan ekonomi dunia. Walaupun secara formal resesi hebat ini kelihatan telah berakhir, akibat dari resesi ini akan berkepanjangan dan pemulihan ekonomi dunia akan berjalan terlunta-lunta

Pertama, resesi hebat ini dilewati oleh negara-negara maju dengan menghamburkan uang negara sebesar us$11 trilyun, atau 1/5 dari output global, guna membantu sektor finansial yang ambruk. Defisit terbesar di dalam sejarah kapitalis ini harus dibayar dengan memotong anggaran-anggaran sosial, yang berarti penurunan konsumsi domestik di negara-negara kapitalis maju tersebut dalam tahun-tahun ke depan.
Kedua, krisis over-production di negara-negara kapitalis maju juga sangat besar, dengan kapasitas produksi 30% lebih besar dari permintaan (daya beli konsumen). Ini berarti pemulihan ekonomi di negara-negara maju akan berjalan tanpa adanya penciptaan lapangan kerja. Selain menghambat permintaan impor dari negara-negara asia, ini juga akan menghambat investasi asing. Hampir 50% investasi perusahaan-perusahaan non-finansial di Indonesia datang dari luar negeri. Sebagai akibatnya kita sudah mulai melihat rencana-rencana investasi di Indonesia yang ditunda atau dibatalkan. Dengan anjloknya investasi asing dan permintaan luarnegeri, kita akan melihat merosotnya tingkat produksi Indonesia dan meningkatnya tingkat pengangguran.
Krisis yang berkelanjutan semakin mendorong keagresifan Imperialisme AS untuk mencari jalan keluar dari krisis melalui meningkatkan penindasan dan penghisapan klas pekerja dan rakyat dunia dengan difasilitasi kebijakan-kebijakan dari pemerintahan negara-negara bonekanya.
Dalam tahun-tahun krisis ini pemerintah imperialis AS semakin meningkatkan intervensi, intimidasi hingga ke arah agresi terhadap musuh dan rivalnya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia. Hal ini memperkuataliansi dengan Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan dan pemerintah boneka lain untuk mempertahankan hegemonidi tengah-tengah pertumbuhan kekuatanChina dan meningkatnya perlawanan yang dilakukan buruh dan rakyat tertindas di seluruh dunia, termasukdi negaranya sendiri.Undang-undang Otorisasi Pertahanan Nasional, Undang-undang Penghentian Pembajakan Online, penguatan aliansiregional dan peningkatan kehadiran militer AS dengan kampanye anti terorisnya, menunjukkanbahwa AS dan sekutunya beralih ke perang agresi untuk mengontrol sumber daya dunia semakin memperdalamkrisis ekonomi global.
Memperdagangkan manusia menjadi salah satu modus licik sebagai jalan keluar yang diterapkan oleh Imperialisme AS, ketika migrasi manusia ternyata memberikan konstribusi yang semakin signifikan bagi negara asal dan negara tujuan.

Neoliberalisme: Peningkatan Level Penghisapan Terhadap Buruh

Dijalankannya proyek Neoliberalisme, sebagai reformula “obat” krisis over produksi kapitalisme di negeri-negeri maju, memberi dampak yang jauh lebih besar terhadap kondisi hidup buruh, tingkat kemiskinan dan level penghisapan.
Neoliberalisme yang sedianya adalah konsep, bentuk dan metode agar kapitalisme bisa berputar kembali, mensyaratkan dihapuskannya monopoli; campur tangan negara dalam bidang ekonomi (perdagangan, keuangan, infrastruktur, subsidi sosial), agar perluasan investasi, eksploitasi (alam dan sumber daya manusia), serta penumpukkan kapital, dapat berjalan secara cepat.
Melalui berbagai regulasi (UU, Perpu, PP, Perda), proyek neoliberalisme dijalankan. Tanggung jawab negara terhadap individu (warganya) mulai ditanggalkan, perlahan tapi pasti. Subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, energi (BBM, Listrik) mulai dikurang, bahkan dicabut. Rendahnya subsidi untuk pendidikan dan kesehatan ditunjukkan dengan pemberian untuk kesehatan sebesar Rp 9,9 triliun, pendidikan sebesar Rp 30,8 triliun (data 2010). Jauh lebih besar pengeluaran untuk pembayaran utang sebesar Rp 30,8 triliun. Bangladesh saja, biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya diatas US$ 1.00 per kapita; sedangkan di Indonesia dibawah US$ 1.
Pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan jelas berpengaruh terhadap kualitas tenaga kerja negeri ini. Tanggung jawab mengembangkan kapasitas pengetahuan, pengalaman, manajemen diletakkan pada individu buruh, individu rakyat, tidak ada (bahkan tidak boleh ada) campur tangan pemerintah untuk mengembangkannya. Akibatnya, penggunaan tenaga kerja kurang ahli lebih diutamakan, selain karena memang ini yang tersedia. Padahal, menurut hasil kajian Maddison (1970) dan Robinson (1971), pembangunan di sektor pendidikan dan kesehatan memberikan kontribusi 40% terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara yang diteliti, karena dengan pembangunan pendidikan dan kesehatan berhasil meningkatkan jumlah tenaga kerja profesional.
Pencabutan subsidi BBM, listrik, liberalisasi pasar; keuangan, bahkan privatisasi badan usaha milik negara berdampak langsung dan tidak langsung terhadap buruh. Klas buruh, sebagai individu maupun kolektif, menjadi bagian dari masyarakat (society) yang mengatur cara produksinya dalam hubungan produksi kapitalisme. Sehingga, perubahan metode penghisapan kapitalisme secara makro (misal dari Keynesian ke Neoliberalisme) berpengaruh terhadap buruh itu sendiri. Misalnya:
  1. Dengan di privatisasinya perusahaan-perusahaan milik negara maka semakin sedikit alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi sosial ataupun penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran; bahkan liberalisasi perusahaan negara di sektor energi, air, pupuk, membuat harga energi (listrik, BBM,) minuman, makanan, melonjak drastis dari biaya produksi awalnya;
  2. Pencabutan subsidi energi dan transportasi melonjakkan harga kebutuhan pokok (sewa rumah/kamar, beras, susu, daging, sayur-sayuran, minyak goreng, minyak tanah, listrik, dll);
  3. Liberalisasi perdagangan mengakibatkan naik-turunnya harga barang pokok cepat terjadi dan berbeda-beda harganya di satu tempat dengan tempat lainnya, karena tidak ada control Negara (baca: monopoli pemerintah), itulah yang disebut harga ditentukan sepenuhnya oleh hukum permainan pasar. Untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar buruh yang tidak bisa sepenuhnya ditalangi dari gaji pokok buruh;
  4. Bahkan, liberalisasi keuangan sangat berpengaruh terhadap kondisi buruh. Gelembung modal yang semakin besar (Financial buble), yang tidak menetes ke sektor-sektor riil, tetapi hanya masuk ke sektor-sektor non produktif (pinjaman bank, belanja negara dan militer, pembiayaan aparatus), suatu saat akan meledak dan implikasinya mengakibatkan negeri yang sangat bergantung kepada keuangan, teknologi, barang modal dan barang bahan baku, seperti Indonesia, akan membuat harga melonjak cepat, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 di Indonesia, Meksiko, Thailand, dll.
  5. Walaupun upah minimum provinsi (UMP) secara nasional rata-rata naik sebesar 10% di tahun 2011. Misalnya DKI Jakarta yang meningkat sekitar 15,38 % dari Rp 1.118.009 menjadi Rp 1.290.000, tetapi kenaikan biaya: sewa rumah/kamar, makanan, minuman, listrik, pendidikan, pakaian, transportasi, susu, cabai, daging, sayuran, membuat tidak ada banyak perbedaan bahkan sesungguhnya upah buruh menjadi lebih rendah.

Peningkatan level eksploitasi tidak hanya soal besaran upah dan pengeluaran yang tinggi akibat penetrasi neoliberalisme—yang membuat harga barang dagangan (komoditi) meroket jauh dari nilai sebenarnya—tapi juga sistem kerja itu. Melalui konsep fleksibilitas pasar kerja (Labour Market Fleksibility) yang disahkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang 13/2003 Ketenagakerjaan, imperialism memenangkan kesempatannya untuk menghisap kaum buruh lebih dalam lagi, dan lagi.
Fleksibilitas pasar kerja (Labour Market Fleksibility), dengan bentuk status kerja kontrak ataupun outsourcing dijalankan dengan pembenaran ekonom borjuis agar ada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik karena: fleksibilisasi pasar kerja akan menghasilkan pemerataan kesempatan kerja yang selanjutnya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan, ternyata tidak lebih upaya kapitalisme, negara untuk lepas dari pemenuhan hak-hak mendasar buruh, bahkan “perbudakan” buruh itu sendiri.
Pada kenyataanya, asumsi pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik itu hanya “tong kosong nyaring bunyinya” saja. Obyektifnya, 95% tenaga kerja Indonesia kurang terampil, sehingga tidak mungkin pekerja untuk dapat secara fleksibel berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain, atau industri lain, atau sektor lain, atau daerah lain. Apalagi masuk ke lapangan kerja industri berat yang membutuhkan kecakapan penggunaan teknologi yang maju. Sehingga, secara ekonomi, sistem kerja kontrak dan outsourcing gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi lain halnya dengan peningkatan level akumulasi kapital si kapitalis, dengan hanya membayar upah pokok buruh kontrak dan outsource, tanpa membayar pesangon, tunjangan-tunjangan masa kerja, ataupun dipusingkan dengan persoalan PHK apalagi pendirian serikat pekerja yang bisa mengganggu si kapitalis meraup keuntungan dan target produksi, alhasil fleksibilitas pasar tenaga kerja berhasil membantu kapitalis untuk meningkatkan level penghisapan (exploitation), dan selanjutnya level keuntungan (acumulation of capital).
Tapi dampaknya terhadap buruh sendiri, sungguh mengerikan. Buruh semakin tak memiliki perlindungan terhadap kondisi kerja mereka, ketidakpastian terhadap pendapatan, upah yang semakin rendah—nota bene tingkat daya beli secara nasional juga menurun— serta lemah posisi tawar (bargain position) pekerja di hadapan kapitalis.
Fleksibilitas pasar tenaga kerja juga berpengaruh terhadap semakin terdiferensiasinya upah dan tingkat kesejahteraan diantara buruh itu sendiri, dan selain itu memfragmentasikan buruh dalam dikotomi pekerja tetap dan pekerja kontrak. Akibatnya, banyak serikat buruh kehilangan anggotanya karena perubahan status kerja (selain faktor PHK) . Sistem perburuhan semacam ini yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan solidaritas sesama kaum buruh.


Perdagangan Manusia, Perbudakan Modern dan Serangan Imperialis lainnya terhadap Buruh Migran dan Keluarganya!

Global Forum on Migration and Development (GFMD) atau Forum Global tentang  Migrasi dan Pembangunan, yaitu forum dari negara-negara kapitalis yang dibentuk untuk merumuskan kebijkan-kebijakan migrasi yang dapat menguntungkan mereka. Kebijakan migrasi yang dapat mengeksploitasi buruh migran di seluruh dunia untuk menyelamatkan Imperialis dari krisis ekonomi dunia yang semakin terpuruk.

Sudah sangat lama, kekuatan ekonomi dunia telah mengincar migrasi sebagai modal untuk keuntungan yang sangat besar dari  tenaga kerja murah dan trampil buruh migran, yang saat ini tercatat ada 214 juta manusia yang melakukan migrasi dalam kondisi migrasi terpaksa karena faktor-faktor kemiskinan dan pengangguran di negeri asalnya.

Berangkat dari kegagalan untuk melakukan negosiasi dalam Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Jasa (GATS) dimana perpindahan manusia menjadi salah satu agenda di dalam GATS. Organisasi dari negara-negara kuat yaitu Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menemukan cara baru untuk mengontrol kebijakan migrasi dan dengan cara seperti itu bisa meyakinkan bahwa proses migrasi dan buruh migran dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, yaitu melalui GFMD yang telah didirikan sejak tahun 2006 di New York, AS.

Pada tahun 201
1, remitansi global dari buruh migran mencapai US$ 483 miliarjumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan bantuan yang mengalir terhadap negara-negara berkembang. Kenaikan remittance berjumlah rata-rata 8 % setiap tahunnya, dan Bank Dunia memproyeksikan bahwa remittance akan terus naik hingga $ 593.000.000.000 pada tahun 2014.

Dari data ini telah menunjukkan bahwasanya imperialisme berupaya keras mengatasi beban krisis yang semakin kronis, bahkan strategi neoliberal semakin massif digencarkan di berbagai negara, bahkan dengan agresi militer. Selain itu juga imperialisme mengembangkan sistem kerja kontrak dan outsourcing untuk mendapatkan keuntungan yang berlipatganda dari tenaga kerja murah yang mereka dapatkan dari pekerja buruh migrant.

Dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat dunia, khususnya buruh migran, kekuatan Imperilasme AS dan negara bonekanya sangat tertarik untuk menjadikan buruh migran sebagai tenaga kerja murah yang terus dikembangkan untuk dihisap dan ditindas.

Inilah bentuk penindasan Imperialisme AS dan pemerintahan rezim boneka SBY-Boediono melalui GFMD untuk menindas dan menghisap buruh migran dan keluarganya. Memastikan kebijakan-kebijakan program pengiriman tenaga kerja murah dan memaksimalkan keuntungan dari proses migrasi dunia tersebut bagi kepentingannya sendiri.


Berkedok Perlindungan Untuk Menindas Dan Menghisap Buruh

Indonesia sebagai negara boneka Imperialisme AS yang diperintah oleh SBY-Boediono tentu akan tunduk begitu saja dalam upaya untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan Imperialis demi  pengabdian terhadap tuannya yaitu Imperialisme AS dalam upaya mengendalikan krisis dunia yang semakin kronis.

Upaya untuk meningkatkan ekspor manusia digalakkan sejak tahun 2009 melalui kebijakan ekspor tenaga kerja dengan memprogramkan ekspor tenaga kerja mencapai  1 sampai 2 juta orang per tahun dengan target keuntungan Rp 125 triliun per tahun.

Saat ini Indonesia berhasil dalam upaya meningkatkan ekspor buruh migran, tercatat ada lebih dari 8 juta buruh migran Indonesia di Luar Negeri yang setiap tahunnya dikirim sekitar 700.000  dengan kontribusi remitansi sebesar Rp 100 triliun per tahun. Mayoritas dari buruh migran yang diekspor dari Indonesia adalah perempuan dengan pekerjaan mayoritas Pekerja Rumah Tangga (PRT). Hal ini menjadi perhatian utama rezim pemerintah di Indonesia dalam memasifkan usaha-usaha untuk merealisasikan percepatan peningkatan ekspor buruh migran dengan rencana mengubah Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri No. 39 tahun 2004(UUPPTKILN No.39/2004) yang dianggap belum mampu merealisasikan peningkatan ekspor buruh migran untuk mencapai keuntungan yang lebih besar.

Perlindungan yang Dibisniskan

Sampai detik ini, rezim pemerintahan sekarang tidak pernah memberikan pertanggungjawaban yang kongkrit atas persoalan-persoalan yang dialami BMI dan anggota keluarganya. Penyelesaian-penyelesaian kasus diputarbalikkan dan hanya diselesaikan dengan politik pencitraan dirinya dan pembenaran lewat pembentukan satgas-satgas yang menghabiskan anggaran negara.

Memaksakan setiap calon BMI mengikuti program asuransi yang dilakukan melalui potongan gaji yang dibayarkan oleh BMI. Namun apakah itu asuransi? Bagaimana klaim asuransi? Apa kegunaan asuransi? Seperti apa transparansi pengelolaan asuransi yang mengatasnamakan perlindungan BMI? Apakah BMI memiliki pengetahuan tentang asuransi? Hal semacam ini dimanfaatkan oleh negara, perusahaan asuransi dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, juga PJTKI dalam memanfaatkan BMI untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari pembodohan dan penghisapan tersebut.

Dengan adanya program asuransi untuk BMI yang dilimpahkan dari Negara kepada swasta/perusahaan asuransi, jelas sekali orientasi perlindungan kembali dijadikan sebagai modus bisnis untuk menambah pundi-pundi keuntungan rezim boneka kapitalis. Dan bagi BMI sendiri untuk mendapatkan perlindungan harus membayarnya dengan mahal melalui program asuransi. KTKLN sejak tahun 2010 dipaksakan oleh rezim penguasa Indonesia melalui BNP2TKI untuk mencari peluang perampasan uang BMI yang sedang dalam masa cuti dengan mengatasnamakan kebutuhan perlindungan BMI di Negara Penempatan dengan mensyaratkan wajib asuransi dalam pembuatan KTKLN, meskipun dalam promosinya pembuatan KTKLN adalah GRATIS!

Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim pemerintahan Indonesia, menjadi sulit untuk tidak mengatakan bahwa SBY-Boediono adalah rejim yang anti terhadap kesejahteraan BMI dan Keluarganya. Bahwa rejim SBY-Boediono adalah rejim penindas dan perampas upah buruh migran melalui berbagai skema penghisapan diantaranya melalui skema biaya penempatan yang tinggi, asuransi, KTKLN dan Terminal Khusus TKI. Tidak ada satupun kebijakan di sektor migran yang memberikan dampak positif atau memberi keuntungan bagi buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya.


Implementasikan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya dalam Kebijakan Perlindungan Buruh

12 April 2012 , tepatnya pukul 11.32 WIB DPR melalui Komisi IX dan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementrian Luar Negeri, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementrian Hukum dan HAM,  mengesahkan RUU Ratifikasi Konvensi Internastional mengenai Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya  (Konvensi Migran 1990). Dengan demikian Indonesia menjadi negara pihak ke 46 negara dari Konvensi ini di dunia dan negara pihak ke- 2 di antara Negara anggota ASEAN setelah Filipina.

Pengesahan Konvensi PBB 1990 ini bukan dari kebaikan pemeritah namun hasil dari perjuangan yang telah dillakukan buruh selama bertahun-tahun. Dalam Pengesahan Konvensi PBB 1990 tentang  Perlindungan Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya di Indonesia ditegaskan harus sejalan dengan kepentingan untuk memberikan perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya secara sistemik dan programatik.

Setelah pengesahan Konvensi PBB 1990 Pemerintah harus segera medeklarasikan keputusan Pengesahan Konvensi PBB 1990 dimuka internasional. Pengesahan ini akan sia-sia dan tidak berarti bagi buruh migan dan keluarganya jika hanya disyahkan oleh DPR tetapi harus diumumkan dimuka internasional melalui PBB. 

Bersamaan dengan pengesahan Konvensi PBB 1990, pemerintah juga sedang menjalankan proses revisi UUPPTKILN 2004. Saat ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk menyesuaikan isi dari UUPPTKILN sesuai dengan Konvensi PBB 1990 tanpa syarat. Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan alasan untuk penyesuaian iklim dalam negeri dan luar negeri untuk tidak mengimplentasi Konvensi PBB 1990 terhadap Undang-Undang Perlindungan Sejati. Tanpa merevisi UUPPTKILN sesuai dengan konvensi PBB 1990 tidak akan ada gunanya bagi buruh migran dan keluarganya.

Dengan disahkannya Konvensi PBB 1990, sudah seharusnya pemerintah membuat Undang-Undang perlindungan sejati bagi buruh migran dan keluarganya. Pemerintah harus merevisi UUPPTKILN tahun 2004 sesuai dengan Konvensi PBB 1990. Proses perekrutan, pemberangkatan, penempatan dan pemulangan harus dirombak total dan berasaskan atas orientasi perlindungan sejati bagi BMI dan anggota keluarganya

Seiring dengan itu pemerintah harus membuat MoU dengan negara penempatan untuk melindungi buruh migran indonesia. Pemerintah harus mempunyai nilai tawar yang lebih tinggi lagi dan tidak menyerahkan nasib BMI kepada hukum negara penempatan.

Langkah konkret yang harus dilakukan segera oleh pemerintah adalah membuat kontrak standar  yang melindungi hak buruh migrant dan keluarganya, penghapusan biaya penempatan (overcharging), memperbolehkan kontrak mandiri dengan syarat yang mudah, penghapusan sistim KUR (Kredit Usaha Rakyat), KTKLN dan berbagai skema perampasan upah dengan berkedok perlindungan.

Selain itu juga memperluas akses penyebarluasan informasi ketenagakerjaan (lowongan pekerjaan dan juga syarat-syaratnya) agar informasi ini bisa diakses oleh rakyat degan mudah. Peningkatan pelayanan harus berbasis pelayanan untuk rakyat bukan terhadap PJTKI/agensi dan pihak swasta.

Misalnya sistem online yang sekarang diterapkan di Indonesia hanya digunakan untuk sebagai alat kontrol mempermudah, mempercepat, dan mengawasi pelayanan penempatan dan perlindungan TKI. Saat ini pemerintah menyediakan sistim online di 400 kabupaten diseluruh Indonesia. Demikian juga sistim online yang diterapkan di BNP2TKI, hanya menerima pengaduan kasus namun orangnya harus tetap datang ke kantor BNP2TKI di Jakarta, apa gunanya menggunakan sistim Online, tetapi orangnya harus datang ke Kantor BNP2TKI di Jakarta? Sistem Online yang dibanggakan oleh pemerintah ini semata hanyalah wujud cuci tangan pemerintahan dalam, pendataan, penempatan dan penanganan kasus, yang tercermin dari pemerintahan korup yang mencari keuntungan semata serta lamban dan lelet dalam menangani kepentingan rakyatnya.

Selain itu juga sistim online yang diterapkan di KJRI Hong Kong, Pelayanan sistim online ini hanya untuk agensi/PJTKI. Dan peggunaanya khusus untuk pengurusan kontrak dan memonitor perpindahan agen oleh BMI di Hong Kong.  Sistim ini sengaja diadakan untuk melarang BMI yang belum selesai masa kontraknya berpindah agen. Hal ini termaktub dengan jelas melalui SE 2524. Kebijakan tersebut adalah bukti nyata pemerintah sebagai kaki tangan pengusaha atau Agensi/PJTKI.

Segala birokratisasi yang menyulitkan rakyat harus dihapus, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan training-traning dan pendidikan gratis bagi calon BMI disetiap desa dan menghapus kebijakan pemaksaan masuk kedalam PJTKI. Dalam pandangan kami PJTKI seharusnya hanya menjadi biro penyalur pekerjaan, tapi tidak sebagai pihak yang mengatur pemberangkatan, penempatan dan pemulangan BMI.  Karena pada hakekatnya ini adalah kewajiban dari negara kepada rakyatnya

Dinegara penempatan pemerintah harus memberikan pelayanan yang mudah dan secara gratis kepada buruh migran di semua negara baik negara penempatan ataupun bukan negara penempatan. Pemerintah harus melindungi dan memberikan hak kepada semua warga negaranya diluar negeri baik yang berdokumen ataupun yang tidak berdokumen tanpa diskriminasi serta menjamin kebebasan berserikat bagi BMI.

Dalam pemulangan, BMI juga tidak boleh didiskriminasi, dengan cara membubarkan Terminal Pendataan Kedatangan buruh migran (Terminal Khusus TKI), dan memberikan pelayanan transportasi yang mudah, murah dan aman  bagi para BMI yang pulang kerja.  Penjaminan social tenaga kerja yang diselenggarakan oleh negara harus menjadi prioritas jaminan social bagi BMI dengan cara yang mudah dan sebagai kewajiban sepenuhnya dari majikan atau Negara tujuan.

Selama ini peraturan didalam UUPPTKILN tahun 2004 telah merampas hak buruh migran melalui system kontrak dan menyerahkan semua penanganan BMI terhadap PJTKI/Agensi.  Perlindungan sejati yang kami inginkan adalah perlindungan langsung dari pemerintah Indonesia dan pemerintah di Negara tujuan bukan perlindungan yang diserahkan kepada pihak swasta  yang berorientasi bisnis, sehingga BMI dan Keluarganya harus membayar mahal untuk mendapat perlindungan.


BMI Bangkit Berjuang Melawan Penindasan

Bagi kami sebagai organisasi Buruh Migran Sejati yang memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak buruh migran Indonesia khususnya dan Buruh Migran sedunia pada umumnya, tentu dalam memaknai Hari Buruh International tidak semata-mata hanya sebagai hari yang diperingati saja. Dengan momentum hari ini tentunya kita diwajibkan terus membongkar kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendasar pada perlindungan sejati bagi buruh migran dan anggota keluarganya.

Di tengah situasi krisis ekonomi dunia yang diakibatkan oleh kerakusan sistem Imperialisme yang hari ini dipimpin oleh Amerika Serikat, dan SBY-Boediono sebagai pemerintahan boneka Imperialis AS tentu akan selalu menghalalkan segala cara untuk berupaya keras keluar dari krisis yang tidak mungkin dihindarinya dengan mengintensifkan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat termasuk buruh migran Indonesia.

Sehingga sudah menjadi keharusan bagi buruh migran Indonesia sebagai bagian dari persatuan perjuangan buruh dunia untuk melakukan perlawanan dan melibatkan diri dalam perjuangan rakyat tertindas lainnya baik secara nasional dan International. Memperbesar organisasi dengan membangkitkan kesadaran-kesadaran massa untuk memahami situasi krisis hari ini dan jalan keluarnya, mengorganisirkan massa seluas-luasnya dengan memperhatikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat, mengkampanyekan hak-hak rakyat dan menggerakan massa menuntut pada sasaran yang tepat yaitu pada akar persoalan yang diakibatkan oleh sistem pemerintahan boneka di Indonesia  dari dominasi kapitalisme monopoli atau Imperialisme.

Kita harus terus  menyerukan kepada seluruh buruh dimanapun berada  untuk terus meneriakkan hak-haknya dan menuntut perlindungan sejati yang telah lama diabaikan oleh rezim komprador pemerintah Indonesia saat ini.  

Selesai.

Hidup Buruh Migran Indonesia!
Hidup solidaritas International!
Lawan penindasan dan penghisapan terhadap BMI!
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Buruh Migran, Politik Perampasan Upah Rating: 5 Reviewed By: Unknown