728x90 AdSpace

Latest News
23 September 2012

Victoria Park

Cerita ini ditulis tadi malam, dimulai sekitar pukul satu dinihari, ketika sebagaian besar penduduk kaki bukit gunung Salak terlelap dalam pusaran mimpi. Di sini tak akan ditemukan ungkapan-ungkapan eksotik-romantik layaknya karya-karya sastra yang pernah ditulis oleh Gibran ataupun Tagore. Cerita ini hanya ingin menuturkan kembali peristiwa muram yang pernah dialami oleh seorang buruh perempuan, seperti orang-orang dalam sketsa hitam-putih Kathe Kollwitz, yang sepanjang hidupnya tengah berbincang dengan kemiskinan dan kematian.

Perempuan itu bernama Marni Sudharti. Ia lahir di Banjarnegara dan hingga lulus SMA masih tetap di Banjarnegara. Ia tak pernah ke mana-mana karena keburu dipinang oleh seorang laki-laki asal Wonosobo yang tubuhnya penuh dengan tato Jawa (alias panu). Tapi memang begitulah cinta, tulis Shakespeare, ia buta ..., tak bisa melihat realitas dengan jelas.

Dalam perjalanan hidupnya, tepatnya seusai perkawinannya, kemiskinan menderanya bertubi-tubi. Ibunya mati karena tak mampu berobat; bapaknya sakit-sakitan; anak semata wayangnya kini menderita penyakit kronis dan berulangkali tak sadarkan diri. Kabarnya pula, Paimo, suaminya, hari-hari ini jiwanya mulai kurang waras.

Tragis. Ini bukan lelucon. Dari sinilah Marni kemudian bertekad untuk bekerja menjadi buruh rumahtangga di luar negeri. “Gaji buruh di Indonesia hanya cukup untuk beli pulsa,” ucapnya. “Aku harus bekerja dan mendapatkan uang banyak; untuk beli rumah dan sepetak tanah; juga untuk mengobati penyakit Bapak, Genduk dan Kang Paimo!”

Mari kita mulai cerita ini. Malam itu ia baru saja menyelesaikan perkerjaan dapur; baru selesai menyiapkan sarapan untuk putra-putri sang majikan, David dan Elizabeth; menyiapkan sepatu, kemeja dan dasi sang tuan; menyiapkan baju kerja sang nyonya. Yach, hingga larut. Dan selalu begitu, pekerjaannya akan berakhir paling cepat jam sebelas malam.

Udara di negeri beton malam itu terasa lembab dan dingin. Gumpalan kabut terlihat perlahan-lahan membentuk tabir samar. Pagi masih jauh. Irama angin terperangkap di tepi. Segalanya seperti hendak berakhir. Tak ada satu percakapan pun yang terdengar.

Waktunya istirahat, pikir Marni. Sambil menunggu kedatangan si tuan dan si nyonya, ia ingin merebahkan tubuhnya di kasur, meluruskan kedua kakinya yang terasa bengkok. Baru saja masuk kamar untuk istirahat, suara ketukan pintu terdengar seperti klakson mobil polisi. Ia segera bergegas menghampiri suara itu dan membuka pintu. James Anderson—laki-laki jangkung tanpa kumis dan tanpa alis, asal Amerika, sang majikan—yang datang.
“Abominable!" ucap tuan Anderson.

Marni kembali masuk kamar. Ia sudah terbiasa dengan perangai si tuan. Tak heran, laki-laki Amerika memang selalu tampil sombong. Dan tak ada pilihan lain. Posisinya masih sangat butuh kerja dan uang. Ia tak bisa berharap pada suaminya yang miskin. Suaminya, Paimo, hanya seorang penggali pasir. Ia tak ingin pulang kampung tanpa uang, tanpa kebanggaan. Ia tak ingin bernasib seperti Marilah yang dihujani cemoohan oleh orang-orang.

Nyonya Anderson sebentar lagi pasti datang. Si nyonya akan bertingkah-laku sama dengan si tuan saat sudah berada di depan pintu: mengetuk pintu keras-keras seraya menggumal. Biasanya hanya selisih dua jam dengan suaminya. Posisinya bergantian. Kadang si nyonya yang terlebih dulu pulang, atau sebaliknya. Mereka jarang pulang bersama meskipun berangkatnya hampir tak pernah tak bersama. Lucu. Mungkin karena harus kerja lembur. Kabarnya si nyonya dan si tuan sedang mengelola pabrik sepatu, warisan dari orang tua si nyonya. Pabrik tersebut, kabarnya pula, sedang memperkerjakan sekitar lima ratus buruh. Mungkin faktor inilah yang membuatnya menjadi gila kerja, sering lembur, dan hobi sekali pulang larut malam.

David dan Elizabeth sudah tertidur pulas di kamarnya masing-masing. Dua manusia kecil ini seperti kelinci: polos, lucu dan gampang tertidur.

Tepat prediksinya. Nyonya Anderson, Naomi Fang-Hua, perempuan berwajah bengis kelahiran Beijing 1970, berbadan gendut dan beralis tebal, sayup-sayup langkahnya mulai terdengar. Sebelum pintu diketuk keras oleh si nyonya, Marni segera berlari menuju pintu, meraih gagangnya dan membukanya.
“Oh, how stupid!” Sapaan kasar dari si nyonya.

Raut muka Marni langsung berubah pucat. Tubuhnya menggigil dingin. Ia segera masuk kamar dan menghalau segala kegundahan. Harus kuat, pikirnya. Ia ingin bisa membeli rumah dan menyekolahkan anaknya hingga SMA. Foto putri sematawayangnya, Marhaeni Gadis Bumi, digenggamnya erat-erat. Menjadi buruh rumahtangga memang tak ubahnya seperti budak, pikirnya lagi. Apalagi buruh rumahtangga di negeri orang. Keseluruhannya sudah menjadi milik sang majikan. Bekerja layaknya robot. Tak boleh sakit. Tak boleh salah.

Tiba-tiba Marni tak kuat lagi menahan aliran air matanya yang masih tersisa. Ia melemparkan dirinya ke tempat tidur dan menangis tersedu-sedu. Terasa pahit. Kebenciannya pada penindasan meningkat cepat. Segala macam ide absurd mendatangi pikirannya. Ia serasa mencium aroma busuk penjara. Ia merasa telah terlempar ke dalam sel; ke dalam ruangan dingin dan gelap dengan tikus-tikus yang tak sopan. Tapi siapa yang akan berdiri untuk membelanya?

Muhaimin terlalu tolol untuk mengurusi kasus-kasus ketenagakerjaan seperti ini. Organisasi-organisasi  buruh migran juga hanya sibuk membuat laporan untuk mendapatkan bantuan. Paimo, suaminya, apalagi. Paimo hanya bisa menggali pasir dan menjualnya dengan harga murah kepada para tengkulak pasir.

Marni semakin larut dalam pusaran kebingungan.
“Prakkk...!” Terdengar suara seseorang sedang membanting piring.
“Who is that?” Marni teriak bertanya.

Tak ada yang menyahut. Tak ada yang bersedia menggerakkan mulut. Mungkin kucing, pikir Marni. Tapi tak berselang lama, suara yang sama, suara piring dibanting, terulang kembali; disertai suara omelan seorang perempuan; siapa lagi kalau bukan suara omelan si nyonya.

“Ada apa ya dengan Nyonya...?” gerutu Marni.
Tampaknya pertengkaran tuan-nyonya meletus lagi, pikir Marni. Ia sudah siap-siap untuk menjadi tumbal sasaran. Tapi ia sudah kebal. Untung laki-laki Amerika itu, pikirnya, meskipun telinganya tinggi sebelah, mampu bersabar dengan omelan-omelan istrinya. Sehingga situasinya tak bertambah runyam.

Malam seakan bergerak cepat. Rasa kantuk mulai menyerang Marni dan nyaris tak dapat ditahan. Kabut tebal yang tadi membentuk gugusan terlihat olehnya dari balik jendela, perlahan-lahan membuyar. Marni terus terbayang-bayang wajah Marhaeni. Ia khawatir penyakit kronis putrinya akan menyebabkan.... “Oh, jangan...!”
“Aku tak akan kuat jika hal itu benar-benar terjadi,” ucapnya dalam hati.

Seketika ia teringat obrolannya dengan Sumilah, teman sekampungnya, saat menggelar aksi buruh migran di Victoria Park beberapa waktu lalu. “Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Mar...,” ucap Sumilah. “Kita harus kuat. Seperti kata buku panduan saat kita berada di pesawat terbang, jika ada apa-apa, sang ibu harus terlebih dulu menyelamatkan diri. Kamu adalah sang ibu dari seluruh keluargamu. Dan Kamu juga jangan berpikir untuk melakukan hal-hal nekat. Kamu masih untung, punya majikan yang gak terlalu kasar. Majikanmu masih punya ambang batas. Coba jika kamu punya majikan yang berperangai seperti majikannya Masruroh, wajah cantikmu pasti sudah dihiasi oleh goresan-goresan pisau!”

Ya, Victoria Park, tempat berhiburnya para buruh migran di setiap hari Minggu, telah menjadi tempat curhat Si Marni. Tetapi tempat itu tak hanya digunakan sebagai ajang curhat, mencari informasi, atau sekedar makan-makan bersama, tetapi sudah menjadi ‘markas’, bahkan sudah menjadi arena untuk mengorganisir perlawanan. Marni sangat menyukai tempat itu. Di situ ia menemukan teman dan perlawanan. Di situ pula, ia bisa aktif di dalam sebuah gerakan.

Tiba-tiba alarm yang ada di telpon genggamnya berbunyi, pertanda mau tak mau ia harus memejamkan mata, mempersiapkan kerja untuk esok pagi: melayani tuan-nyonya, memandikan David dan mencarikan baju untuk Elizabeth, kemudian mengantar mereka berdua hingga pintu sekolah. Tapi matanya seperti tak ingin terpejam. Ada yang masih tertinggal untuk dipikirkan. Ya, ternyata tentang bapaknya, Mbah Sanem. Rupanya ia sangat kawatir dengan kesehatan bapaknya. Mbah Sanem sudah berulangkali mati tetapi hidup kembali. Kata orang-orang, itu bukan mati, tetapi sekarat. Entahlah. Semoga masih bisa menemui Bapak saat pulang nanti, pikirnya. Bapak ingin sekali dibelikan sepetak tanah untuk kebanggaan. Sudah lama Bapak merasa menderita dan terhina. Bapak ingin menunjukkan kepada Haji Songeb, orang kaya di kampung yang tak pernah menghargainya, bahwa, meskipun lima dari enam anaknya tidak waras, paling tidak, masih ada satu anaknya yang waras dan bergelar ‘pahlawan devisa’.

“Jam satu. Cepat sekali!” ucapnya pada bantal berbentuk orang-orangan yang berbaring di sisinya. “Ayo tidur, Kawan!”
Belum selesai menata tubuhnya di tempat tidur, suara panggilan telpon terdengar kencang. Volumenya pasti dibuat maksimal.

“Halo ... assalamualaikum! Mar, Bapake wis ora nana...!”
Itu suara Paimo, suami Marni, laki-laki yang sepanjang hidupnya tak pernah bebas dari penyakit panu. Penyakitnya orang miskin. Penyakit yang menyukai tubuh-tubuh jarang mandi dan berkeringat.
“Bapake sapa, Kang...? Bapeke enyong wis ora nana...?” tegas Marni dengan suara tinggi.
“Marhaeni kepriben, Kang ... apa isih nang rumahsakit?”
Tak ada jawaban dari Paimo mengenai Si Marhaeni. Paimo hanya mengabarkan tentang mertuanya yang telah mati. Lalu bagiamana dengan Marhaeni, apakah ia semakin parah dan akan mati pula? Demikian pikir Marni.

Marni hampir pingsan. Pikirannya berkecamuk di putaran ritme malam yang hening. Tidak mungkin pulang. Tidak mungkin pula tidak pulang. Tapi uang dari mana. Baru saja seluruh uangnya dikirim ke kampung untuk pengobatan bapak dan anaknya; dan juga untuk melunasi hutang-hutangnya ke rentenir yang membiayainya pergi ke Hong Kong.

(Mungkin, saat seperti inilah, apa yang disebut oleh orang-orang sebagai “titik nol”. Segalanya lenyap. Keseluruhan realitas tiba-tiba menampakkan dirinya tak berarti. Pada akhirnya putus asa, bunuh diri; dan segera ingin menuju lembah “kedamaian” dengan mempercepat kematian. Tapi tunggu dulu, Marni! Ada baiknya sejenak mendengar celotehan ringan dari si dekil Dostoyevsky, sastrawan aneh berkebangsaan Rusia yang berkali-kali hampir mati: “Rasa sakit dan penderitaan akan menciptakan kecerdasan dan kehebatan....”).

Ya, ini titik kulminatif bagi Marni. Keseluruhan dirinya benar-benar zero. Seluruh memori kelam di masalalunya menyeruak, memadati pikirannya, membentuk gugusan padat dan mengeram. Ia terus teringat pada bapaknya. Ia menyesal tak bisa memenuhi janjinya untuk membelikan sepetak tanah. “Tak apa,” seru Marni, memenangkan pikirannya, “semoga di sana ada surga.” Tapi bagaimana dengan putri sematawayangnya?

Tak terasa, sudah hampir pagi. “Ohh, ini hari Minggu!” teriak Marni kesenangan. “Oh my God, hari ini ternyata aku bebas dari kerja. Ini hari untuk berkumpul di Victoria Park.”

Victoria Park pasti akan ramai dengan berita kematian Mbah Sanem dan kekhawatiran Marni atas nasib putrinya. Dan baru saja ia mendapat kabar dari Riyanti, teman dekatnya asal Madiun, bahwa hari ini buruh migran akan menggelar aksi protes kembali di depan kantor konsulat. Kabar ini pasti menggembirakan Marni di tengah-tengah kesedihannya yang tak terbatas. Ketepatan dalam aksi ini ia mendapat giliran berorasi. Ini kesempatan baginya untuk mengekspresikan suara politiknya di depan massa. Ia sudah membuat catatan-catatan penting. Ia ingin berbicara tentang rantai kemiskinan, penindasan, kesedihan dan kematian. Ia ingin mengajak massa untuk terus melawan dan menghancurkan segala belenggu penindasan dan ketidakadilan.

“Bangkitlah, Kawan...!” ucap Marni kepada bayangannya sendiri, di depan cermin. “Kau perempuan kuat. Bukankah kau ingin selalu menjadi ilalang indah yang menari-nari di depan massa? Perempuan buruh seperti kita harus segera mengemban tugas historisnya, Kawan...! Kau seorang sosialis, Marni. Bukankah Marx pernah bilang bahwa perubahan sosial yang besar tidak mungkin tanpa pemberontakan dari kaum perempuan?”

“Victoria Park, aku akan tetap menjadi ilalangmu!”
Bogor, Agustus 2012

http://www.militanindonesia.org/sastra/22-akhir/8332-victoria-park-cerpen.html
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Victoria Park Rating: 5 Reviewed By: Unknown