728x90 AdSpace

Latest News
17 September 2012

Membangun Organisasi Yang Demokratis

Arie Sujito*




 
    
                                                                                                              Pada jaman orde baru, tindakan negara yang melarang warganya berorganisasi melalui disain state corpratism, dengan hanya mengalirkan aspirasi rakyat ke dalam kanal-kanal lembaga bentukan pemerintah telah melahirkan petaka. Rakyat tidak berdaya karena terkerangkeng oleh otoriterisme, dan sistem politik tidak lebih sebagai ajang dominasi sang pemilik otoritas. Fungsinya sebagai penyumbat kebebasan warga. Tak heran, jika politik berasosiasi sebagai pentas mobilisasi, bersemayamnya kesadaran semu, ajang represi, praktik kooptasi dan manipulasi. Kala itu, organisasi warga ibarat boneka, dimainkan oleh penguasa yang bertindak sebagai dalang pada drama akrobatik. Nafsu kekuasaan adalah menjinakkan kesadaran rakyatnya.

Segalanya serba diatur negara, dengan cara sewenang-wenang. Mungkin dapat diambil contoh tentang perlakuan negara terhadap warga di desa-desa, dimana aparat pemerintah desa selalu bertindak menentukan jalannya arus politik (baik pada tingkat formal maupun everyday politic), yang melampaui kewenangan sesungguhnya. Resikonya, rakyat menjadi tidak berdaya (powerless), tidak mandiri, terjadi ketergantungan, serta mengalami kematian partisipasi dan inisiatif. Disanalah bentuk-bentuk mobilisasi, eksploitasi dan domestikasi terus berlangsung sebagai manifestasi grand project negara dalam kerangka kepentingan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, untuk pembangunan. Pada era itulah diberlakukan secara efektif, apa yang diistilahkan dengan (a) depolitisasi, (b) deideologisasi dan (c) floiting mass.

***

Itu semua memang cerita masa lalu, yang kelam. Sejak struktur kekuasaan bergeser melalui pergelaran reformasi tahun 1998 lalu, tentu memiliki nuansa perbedaan mendasar. Secara normatif, citra dan fungsi negara dipahami bukan lagi sentrum kekuasaan penentu kehidupan warganya. Sebaliknya, kedaulatan ada di tangan rakyat. Berarti menempatkan rakyat sebagai subjek kekuasaan yang menjalankan kehendaknya secara langsung (disebutnya dengan demokrasi langsung) dan mewakilkannya sesuai dengan selera (politik representasi dan demokrasi perwakilan). Dengan demikian, fungsi negara sesungguhnya justru melayani, harus memenuhi hak-hak warganya melalui birokrasi dan lembaga-lembaga lainnya. Itulah prinsip demokrasi substantif.

Dalam konteks itulah pertanyaannya yang perlu dijawab adalah (1) di masa perubahan saat ini apakah fungsi rakyat sebagai subjek politik sudah terwujud? (2) bagaimana peluang menguatkan organisasi rakyat (ORA) sebagai bagian dari civil society dalam menjalankan demokrasi di level lokal? (3) apa kelemahan mendasar dan potensi yang dimiliki, sehingga proses penguatan ORA dapat dijalankan? (4) bagaimana strategi memperkuat ORA dalam proses politik pada kegiatan di sektor sosial, ekonomi dan budaya? (5) Bagaimana mengefektifkan ORA sebagai instrumen artikulatif kepentingan rakyat di tingkat lokal, sehingga mampu menjadi organisasi berkelanjutan?

***

Perkembangan struktur kekuasaan dan masyarakat sejak liberalisasi politik, fenomena ledakan partisipasi warga tidak terbendung lagi, di berbagai tingkatan.

Kebangkitan rakyat yang tercermin dari menjamurnya asosiasi, organisasi, atau semacam perhimpunan dst, di sejumlah sektor merupakan indikator dasar semaian inisiasi warga kian subur. Para petani, buruh, pedagang kaki lima, pedagang “warungan”, pengrajin, perempuan, membentuk organisasi yang dijadikan sebagai media partisipasi untuk mengelola kepentingan. Kondisi semacam ini secara objektif karena pengaturan organisasi tidak seketat dulu. Mekanismenya relatif longgar dan tidak birokratis di satu sisi, dan keberanian rakyat untuk berpartisipasi juga kian meningkat di sisi lain.

Artinya, kinilah saat dan kesempatan membangun organisasi yang kokoh, mampu dijadikan sebagai alat perjuangan warga. Sebagaimana kita tahu, kekuatan penting dalam proses politik di tingkat masyarakat bawah, adalah organisasi rakyat (ORA). Kalau dalam sketsa teoritik, ORA merupakan bagian dari civil society. Perannya adalah memberikan keseimbangan terhadap institusi negara (pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya) serta political society (semacam partai politik).

***

Nah, apa manfaat-manfaat mendasar organisasi itu? Pertama, menjadi ladang strategis untuk membangun solidaritas sosial dalam nasib dan kepentingan; kedua, menjadi arena belajar bersama diantara anggota (untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan akses ekonomi atau politik); ketiga, membuat jaringan dan mempererat persahabatan; keempat, membuat kerjasama di berbagai bidang sesuai dengan minatnya; kelima, menjadi fungsi kontrol komunitas anggota. Dalam kaitan itulah, keaktifan berorganisasi jelas banyak manfaatnya.

Dengan manfaat seperti itulah, maka berorganisasi bagi warga sipil, seperti halnya para pedagang kaki lima atau kaum miksin kota sangat dibutuhkan. Bagaimana kenyataan ORA dalam suasana seperti itu? Dalam perkembangan politik sejauh ini, juga didasarkan pengalaman, ternyata munculnya ORA belum menjadi kekuatan penyeimbang efektif institusi negara atau masyarakat politik, secara konkrit. Kendatipun muncul partisipasi, seperti aktivitas protes sosial dalam bentuk komite aksi, kegiatan sosial-ekonomi mandiri yang menjauhkan dari intervensi negara, adanya jaringan antar kelompok di berbagai sektor, tetapi nampaknya belum menjadi tolok ukur konkrit kekuatan sipil bagai proses perubahan nasib dirinya, ketika harus berhadap-hadapan dengan kelompok atau kekuatan-kekuatan lain.

Hal yang mudah kita lihat adalah, mengenai keterlibatan dalam hal penentuan kebijakan (decision making) menyangkut kepentingan warga. Sejumlah kasus, di beberapa daerah, fungsi rakyat sebagai subjek yang terepresentasi dalam lembaga-lembaga politik masih “semu”. Aspirasi yang disuarakan oleh organisasi, kadang-kadang masih kandas dan gagal. Kasus-kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima, atau tukang becak dan kaum miskin kota lain dapat disebut beberapa bukti mengenai masih lemahnya organisasi ini sebagai alat perjuangan. Dengan kata lain, perkembangan partisipasi di era perubahan hanyalah menghasilkan rakyat sebagai subyek “kedalam” ORA, tetapi ketika berinteraksi dengan kekuatan lain masih menjadi objek.

***

Berikut ini beberapa persoalan dasar yang masih dialami ORA sejauh ini, serta beberapa formula penting yang perlu dilakukan. Pertama, pengetahuan berorganisasi lemah. Pada prinsipnya, pengetahuan mengenai seluk beluk berorganisasi itu penting bagi para anggota. Terutama menyangkut manfaat, cara membentuk, mengurus, menghidupi dan menjaga kelangsungan organisasi dan kepentingan bersama. Hal itu sebagai syarat utama, agar

organisasi ini dapat berlanjut dalam waktu lama atau jangka, serta sesuai dengan cita-cita anggotanya.

Kedua, partisipasi dan keaktifan anggota yang lemah. Akibat lemahnya partisipasi anggota ini, yang paling nyata adalah organisasi menjadi tidak berkembang padahal usianya sudah lama. Kecenderungannya, gerak organisasi hanya mengandalkan orang-orang tertentu saja (ini warisan feodalisme yang ditentukan sekadar figur, bukan sistemik) tanpa dukungan keterlibatan anggota secara memadai. Ibaratnya, organisasi hanya merasa “dimiliki pengurus” karena anggota pada “cuek”. Tentu saja hal seperti ini tidak sehat, membutuhkan peran kebersamaan antar anggota, baik dalam hal manfaat maupun tanggungjawabnya. Karena itu, harus ada pembagian kerja (divison of labour) yang baik, terkontrol dan tanggungjawab secara proporsional.

Ketiga, ketergantungan pada pihak luar yang tinggi, atau organisasi kurang mandiri. Gejala ini dapat dilihat dari lemahnya kreativitas organisasi, baik pengurus atau anggota untuk mengambil inisiatif dalam membangun organisasi. Fenomena ini dapat dirasakan, misalnya selalu meminta petunjuk, bantuan atau perintah dari luar terus-menerus. Kalau tidak ada stimulan dari pihak-pihak luar, dalam bentuk ajakan atau fasilitasi maka tidak ada kegiatan atau program yang dilaksanakan. Nah repotnya, banyak organisasi akhirnya sebatas “papan nama”, yang hanya ada papan dan pengurusnya saja, tetapi tidak ada aktivitasnya, apalagi partisipasi anggota. Masalah ini penting dipikirkan bagaimana agar organisasi itu mandiri dengan punya program, dana, keaktifan pengurus dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung.

Keempat, kurang konsisten dalam kesepakatan. Berbagai perencanaan kegiatan atau program, biasanya tidak dilanjutkan dengan pelaksanaan, evaluasi dan kontrol serta kemanfaatannya. Akibatnya, terlalu banyak rencana toh tidak dijalankan secara konsisten. Nah, soal konsistensi dalam keempat hal itu perlu dilakukan agar organisasi bisa dipercaya (menimbulkan kredibilitas yang kuat, atau trust) dalam setiap agenda kegiatan. Misalnya mengenai agenda dan kesepakatan, tentu harus dijalankan bagaimana pun mekanisme. Apakah oleh pengurusnya, ataukah melalui partisipasi penuh para anggota secara keseluruhan.

Kelima, pengetahuan dan ketrampilan pengurus yang masih rendah. Pengurus itu ditunjuk atau dipilih karena didukung anggota, berdasarkan kompetensi dan kemampuanannya (legitimasi dan representasi). Oleh karena itu, pengurus hendaknya memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dalam menjalankan amanat anggota organisasi. Berkaitan dengan hal semacam ini, pengurus hendaknya mengambil inisiatif mencari dan memperoleh pengetahuan berorganisasi supaya roda organisasi dapat berjalan, dari manapun. Kepekaaan sungguh diperlukan bagi pengurus untuk hal-hal seperti ini, supaya organisasi berjalan. Keenam, solidaritas antar anggota masih kurang, sifatnya dalam relasi cenderung individual dan hanya persaingan semata. Masalah semacam ini, memang sangat menyulitkan organisasi. Padahal, organisasi diperlukan agar kerjasama antar anggota dijalankan, dan disanalah membutuhkan solidaritas yang berkaitan dengan kepentingan bersama diantara anggota dan pengurus. Hal-hal penting untuk dilakukan misalnya, menumbuhkan rasa saling memiliki, merasakan nasib yang sama, orientasi memajukan organisasi dengan landasan solidaritas, serta tanggungjawab bersama dalam tugas dan memperoleh kemanfaatannya, serta pembagian kerja yang sehat. Jika seseorang anggota menghadapi masalah, maka anggota lain juga ikut merasakan dan sekaligus membantu memecahkan masalah tersebut, jangan menutup diri dan individualistik., Apalagi muncul sentimen dan black propaganda.

Ketujuh, keterbatasan dana untuk organisasi. Persoalan hidup tidaknya sebuah organisasi juga dipengaruhi oleh faktor dana, bahkan sangat krusial. Sejauh ini pengalaman membuat terobosan untuk menabung, pengadaan produk untuk fundrising (mendapatkan sumber pendapatan alternatif) dalam usaha organisasi perlu ditempuh untuk mengatasi pendanaan semacam ini. Hal tersebut tentu dimaksudkan agar organisasi juga mampu mandiri dalam kelangsungan program. Makin diabaikan soal keberlanjutan berbasis sumberdaya ekonomi, mendorong keadaan yang pragmatis dan demoralisasi para aktivis yang ada di dalamnya. Coba kita refleksikan soal ini.

Kedelapan, kaderisasi dan kepemimpinan yang belum mantap. Bagaimanapun majunya suatu organisasi, jika tidak mempersiapkan kaderisasi dan kepemimpinan maka akan menghadapi kendala suatu saat nanti. Maksudnya adalah, organisasi dihadapkan tantangan dan kesempatan yang ada sejauh ini perlu memikirkan pentingnya mengkader para pengelola (manajer dan pemimpin) organisasi yang handal, kreatif, inovatif, berwatak maju dan demokratis, yang nantinya menjadi kekuatan penggerak dalam organisasi secara lebih aktif dan efektif. Tentu saja organisasi menjalankan kaderisasi kepemimpinan hendaknya dilandasi oleh ideologi yang jelas dan kuat.

***

Akhirnya, agenda besar yang harus dilakukan dihadapkan keadaan perkembangan yang terjadi saat ini (sosial, politik, ekonomi dan budaya), adalah membangun organisasi rakyat (ORA) yang kuat, sehat dan berkelanjutan, dengan menerapkan prinsip demokrasi untuk keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan anggota. Lalu, apa kira-kira yang harus dilakukan bagi organisasi dalam rangka menjawab masalah dan kebutuhan di atas? Pertama memiliki kejelasan ideologi. Ditengah makin pragmatisme keadaan perubahan saat ini, saatnya organisasi merefleksikan diri untuk memperkuat ideologinya dalam menjadikan organisasi sebagai alat perjuangan bersama kelompok yang dibelanya; Kedua, manajemen yang sehat, yakni organisasi harus menerapkan nilai-nilai partisipasi (keikutsertaan pengurus dan anggota), transparansi (keterbukaan dalam aturan main dan kesepakatan), kontrol (pengawasan bersama atas jalannya organisasi) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban dalam akvitas), dalam menjawab problem-problem di atas. Saatnyalah, organisasi belajar menerapkan nilai-nilai tersebut untuk bisa menjadi besar dan dapat diandalkan sebagai alat perjuangan anggota. Suatu organisasi yang bebas KKN, tidak sewenang-wenang, berjalan sehat dan berkelanjutan.***

* Dosen Fisipol UGM, peneliti IRE Yogyakarta dan Sekjen Pergerakan Indonesia
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Membangun Organisasi Yang Demokratis Rating: 5 Reviewed By: Unknown