728x90 AdSpace

Latest News
24 October 2012

Awas hegemoni Televisi

Indonesia hari ini adalah sebuah gambaran tentang masyarakat konsumen yang tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi. 

Indonesia hari ini adalah sebuah hiruk pikuk orang memadati shopping mall, bingung memilih barang atau hanya puas untuk sekadar memegang. Membaca Indonesia hari ini, adalah estalase industri waktu luang, industri mode dan fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri kebugaran, industri gosip, industri perumahan mewah dan apartemen. 

Indonesia hari ini adalah potret hutan kota yang dipenuhi baliho iklan parfum, telepon genggam, makanan cepat saji, dan suplemen obat kuat. Membaca Indonesia hari ini adalah kontestasi tayangan televisi yang mengeksploitasi gosip dan sensasi.


Perubahan cepat dalam teknologi informasi saat ini telah mengubah kebudayaan sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan dan pedesaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Kini pun kita masuk dalam ikatan kebudayaan global.

Corak kebudayaan global telah memerdekakan dan membebaskan manusia. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh kebudayaan global. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi narasi yang dilakukan oleh media massa secara cepat. Media memberi kontribusi yang cukup besar dalam mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi tersebut tidak selamanya bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat, media juga tak jarang kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas.

Kontestasi Media

Gambaran yang paling nyata pada perkembangan saat ini, dapat diperhatikan pada interaksi dan negosiasi antar-individu yang dikonstruksi media massa – terutama industri penyiaran televisi. Keberadaan televisi nyaris menyergap kita sejak bangun pagi hingga tidur kembali. Dan, sejalan itu pula televisi telah membentuk kebudayaan massa yang serba cepat. Apalagi, setiap program tayangan televisi memuat strategi komunikasi agar mampu memelihara atau mengubah sikap atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber pembuat strategi. Sehingga, dapat dikatakan bahwa televisi ini cenderung mengajakaudience-nya agar patuh kepada pihak yang menguasai modal komunikasi, baik dalam konteks politik maupun ekonomi (Fiske, 1987).

Sejumlah penayangan melalui stasiun televisi sangat strategis dan efektif untuk mempengaruhi audience-nya. Pada pemerintahan Orde Baru misalnya, TVRI – sebagai satu-satunya stasiun televisi – justru dijadikan alat propaganda pemerintah yang strategis dan efektif. Pada waktu itu, pemerintahan Orde Barumelalui Departemen Penerangan (Deppen) RI begitu menguasai dan mengendalikan media penyiaran televisi dalam setiap isi tayangannya yang serba negara. Sedangkan setelah Orba – seiring dengan terbukanya kebebasan politik di Indonesia – orientasi pada ekonomilah yang dijadikan “kiblat” bagi para pemilik modal untuk mengendalikan isi siaran televisi. Atas nama pengembalian investasi, para pemodal berkompetisi, dan isi siaran televisi dijadikan strategi. Isi siaran televisi Indonesia pun berubah, dari serba negara bergerak pada determinasi ekonomi.

Bertolak dari kenyataan tersebut, dapat diyakini bahwa sajian acara televisi telah melibatkan sejumlah kepentingan. Kepentingan-kepentingan itulah kemudian menciptakan kontestasi. Bahkan, Fairclough (1995) menyebut proses tersajinya program acara televisi ini sebagai “hegemonic struggle” (pertarungan hegemoni), sedangkan Fiske (1987) mengistilahkannya sebagai “an arena for struggle for meaning” (arena pertarungan makna), juga Littlejohn (1996) menyebutnya sebagai “a struggle among ideologies” (sebuah pertarungan di antara ideologi).

Televisi menjadi bagian dari, “prakondisi dan konstruksi selektif pengetahuan sosial yang kita gunakan untuk mempersepsi ‘realitas’ kehidupan orang lain, dan secara imajiner mengkonstruksi hidup kita dan mereka menjadi semacam ‘keseluruhan dunia’ yang masuk akal bagi kita” (Hall, 1977:140). Atau meminjam istilah Graeme Turner (1991: 128-129), sajian acara televisi pada dasarnya mengakomodasi praktik sosial, yang senantiasa memproduksi representasi realitas sosial. Dari sinilah, proses tarik menarik kepentingan – baik politik, ekonomi, maupun kepentingan yang lain – di antara para pelaku tindakan yang memproduksi dan yang merespons sajian acara televisi akan terlihat. Proses tarik menarik kepentingan tersebut bisa berbentuk kerja sama atau bahkan berupa konflik (McQuail 2000).

Tarik menarik kepentingan itulah yang membentuk politik informasi media televisi. Katakanlah, ketika isi siaran televisi dikuasai pemegang ekonomi politik informasi (political-economy of information), maka informasi menjadi alat kepentingan para subjek pelaku media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Para penguasa ekonomi ini kemudian berperan menjadi perumus realitas (definer of reality). Artinya, ideologi atau kepentingan para subjek pelaku media akan menelusup melalui tayangan yang diproduksi dan direproduksinya. Apalagi, tayangan yang diproduksi dan direproduksi stasiun televisi tersebut merupakan salah satu teks utama televisi. Sebagai salah satu teks, tayangan televisi bukan hasil rangkaian realitas, melainkan representasi yang terseleksi dan terkonstruksi serta menjadi bagian yang turut membentuk realitas (Barker,2000; Bennet, 1982; Berger dan Luckman, 1990; dan Piliang, 2005).

Terseleksi dan terkonstruksinya realitas tersebut, ditentukan oleh pengetahuan dan tindakan para subjek pelaku tindakan yang terlibat dalam media. Dengan demikian, kenyataan subjektif yang berasal dari pengetahuan dan tindakan subjek pelaku media akan lebih mewarnai sajian acara televisi. Di sisi lain, para pelaku media secara subjektif juga dapat mengubah kategori persepsi dan apresiasi yang mengendalikan berbagai pandangannya tentang realitas sosial melalui tayangan acara televisi tersebut (Severin & Tankard 2005 dan Kottak, 1990).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tersajikan acara televisi pada dasarnya lebih ditandai oleh praktik-praktik sosial para pelaku dalam rangka berinteraksi dan bernegosiasi dengan pelaku yang lain. Dalam praktik-praktik sosial para pelaku itulah, sejumlah pelaku melalui relasi-relasi yang ada akan bersaing, berjuang, dan saling mengalahkan, yang secara langsung maupun tak langsung menandai bekerja dan berkontestasinya kekuasaan. Atau dengan kata lain, bekerja dan berkontestasinya kekuasaan dalam hal ini tidak dilihat sebagai gambaran yang menampilkan para kontestan dalam konstelasi yang statis (Pradipto, 2007). Ia lebih dilihat sebagai proses interaksi dan negosiasi yang di dalamnya kekuasaan bekerja dan berpengaruh dalam konteks tertentu.

Keberadaan media televisi di era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi simbol-simbol, gaya hidup, dan dinamika masyarakat terjadi, karena televisi sebagai media telah melakukan konstruksi realitas sosial (Berger dan Luckman, 1990). Media penyiaran televisi saat ini justru telah membangun realitas sosial dari sebuah industri yang padat modal dan disajikan terhadap masyarakat yang dinamis dan kontemporer. Melalui media penyiaran televisi saat ini, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan (Kottak 1990).

Bertolak dari argumentasi tersebut, maka informasi yang disajikan televisi – yang kemudian menghasilkan isi sajian media — lebih ditentukan oleh para para pengelola yang menguasai media penyiaran tersebut. Apalagi, isi sajian media televisi saat ini akan selalu terus menerus berproses dan mengalami perubahansejalan dengan kepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Sehingga yang perlu didiskusikan dalam hal ini, bukan semata-mata bagaimana isi sajian acara televisi mempengaruhi audience-nya, namun juga menyangkut praktik-praktik sosial sejumlah pelaku ketika mengakses dan menegosiasikan berbagai kepentingannya berkaitan dengan sajian acara televisi tersebut.

Diskusi tersebut dapat dilihat dari perbenturan dan tarik menarik antara aturan-aturan normatif dengan pragmatik, serta tarik menarik antara pengetahuan dengan tindakan sosial (Irianto, 2007). Tarik menarik antara aturan normatif dan pragmatik akan bergerak dari satu situasi ke situasi lain secara terus menerus. Gerakan situasi tersebut akan bermakna jika ditafsirkan dan didefinisikan. Dan, proses penafsiran tersebut akan menjadi perantara antara kecenderungan bertindak dengan tindakan itu sendiri, jika kemudian di antara para pelaku yang terlibat, mendefinisikan tindakannya secara berbeda-beda dalam tindakan sosialnya karena perbedaan posisi mereka dalam situasi tersebut. Sebaliknya, jika di antara para pelaku mampu mendefinisikan tindakannya dalam situasi yang sama, maka hal itu lebih disebabkan adanya persamaan penafsiran, bukan karena struktur organisasi tersebut mampu menentukan dan mengatur tindakan para pelaku (Goffman, 1974).

Sementara menurut Bourdieu (1977), tarik menarik antara pengetahuan dengan tindakan sosial merupakan kegiatan reflektif dan reproduktif. Ia merupakan habitus yang bekerja, baik antara relasi-relasi sosial yang objektif dan interpretasi-interpretasi subjektif, baik antara struktur kognitif (ide) dan realitas sosial (tindakan), maupun antara struktural maupun kultural. Sebab habitus, merupakan struktur subjektif – atau skema-skema interpretatif yang bekerja secara tersirat — yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial.

Berkaitan dengan tersajikannya tayangan acara televisi, habitus para pelaku yang terlibat dapat diidentifikasikan dari skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual benda-benda dalam realitas sosial. Skema-skema itu berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada setiap pelaku dalam rangka membangun relasi-relasi pada ranah sosial. Ranah bukan merupakan ikatan intersubjektif antar-individu, namun semacam hubungan yang tanpa disadari, atau posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Bourdieu, 1977). Pada ranah inilah selalu berlangsung perjuangan posisi yang dipandang mampu mentransformasikan atau mempertahankan kekuatan. Ranah menjadi sarana kompetisi berbagai jenis modal (ekonomi, politik, dan simbol) yang digunakan dan disebarkan para pelaku untuk membangun relasi kekuasaannya.

Pengetahuan dan tindakan para pelaku melalui tayangan televisi tersebut telah melahirkan makna dalam kehidupan sosial. Dan, makna akan terlihat dari jenis-jenis hubungan sosial tertentu. Dengan demikian, pada dasarnya tindakan sosial terjadi dari interaksi-interaksi kongkret yang melibatkan setiap pelaku untuk merespons dan menafsirkan aturan-aturan (rules) yang ada secara secara aktif, kreatif, bahkan manipulatif. Tindakan sosial para pelaku, di satu sisi bisa menciptakan sistem sosial, tetapi sisi lain juga melawan sistem sosial yang telah tercipta sebelumnya. Hal itu terjadi, karena sebagai subjek pelaku, manusia senantiasa berusaha untuk memanipulasi keteraturan normatif. Bahkan, manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya (Bailey dalam Saifuddin, 2005:175-180 dan Ritzer, 1992).

Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media. memberi kontribusi proses perubahan dan pembentukan struktur pengetahuan yang baru. Melalui media, lahirlah kelompok yang berdaya (para pemodal) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur budaya dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok partkular dapat menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan diekspresikan melalui media yang mereka miliki. Dengan senjata media pula, para partikular tersebut mampu mengkooptasi the sacred (ala Durkheimian). Sebagai contoh ketika terjadi gempa dan bencana di sejumlah wilayah ternyata sebagian besar stasiun televisi dalam waktu bersamaan masih menayangkan acara hiburan denganpenuh suka cita.

Dari contoh tersebut memperkuat argumentasi bahwa telah terjadi perbenturan tentang the sacred yang terekspresi melalui media. Media telah mendistorsi makna the sacred dan menciptakan makna baru. The sacred menjadi form untuk content baru produksi media Melalui media sistem komunikasi yang dianut kognitivis dapat mengubah dan membentuk opini publik. Atau dengan kata lain, media dapat berperan membangun sentimen publik, dan akibat sentimen itu kelompok masyarakat bersolider dan bersatu membentuk strtuktur dalam menghadapi konflik dengan kelompok masyarakat lain.

Di sisi lain, setiap stasiun televisi dituntut memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya. Sebagai sebuah industri, setiap stasiun televisi (swasta) dalam rangka mempertahankan eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha siaran televisi untuk melakukan ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam. Pengembalian investasi yang paling nyata, ditandai dengan sejumlah tindakan pengelola stasiun merayu pemasang iklan agar menjadi sponsor sejumlah sajian acara yang ditayangkan, baik berupa hiburan maupun informasi (Burton 2007 dan Fiske, 1987). Diharapkan setiap siaran yang ditayangkan mampu “merayu” pemasang iklan. Untuk itulah, tuntutan pemasang iklan dijadikan prioritas utama setiap stasiun televisi dalam menyusun setiap isi siarannya. Artinya, sajian acara televisi dirancang bukan bertolak dari nilai kegunaan bagi audience, tetapi bagaimana audience terpengaruh dengan isi siaran yang diinginkan para pemasang iklan televisi (Baudrillad, 1998 dan Irianto 2007).

Dalam mengembangkan strategi dan kepentingannya, terbentuklah identitas-identitas yang kemudian diposisikan menjadi para pelaku media. Posisi para pelaku pada dasarnya telah ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah diorganisasi dan dikonstruksi media pada dasarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan yang terus berkembang. Dalam mengembangkan kepentingannya, para pelaku akan melakukan tindakan saling mendukung, saling mengontrol, saling bersaing, dan saling mengalahkan. Tindakan-tindakan tersebut dapat dipahami sebagai proses pembentukan pengetahuan (Irianto, 2007).


Ketahanan Budaya dan Globalisasi

Globalisasi memang sudah menjadi keniscayaan. Namun, di sisi lain, sebagai bangsa kita juga harus mempertahankan kebudayaan yang kita miliki. Untuk itu, ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Proses globalisasi, memang – meminjam istilah Samuel Huntington – akanmempertajam “clash of civilizations”, serta dapat mengakibatkan perusakan terhadap peradaban. Akan tetapi, dengan ketahanan budaya yang tangguh, arus globalisasi tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa ini. Ketahanan budaya bukan berarti mensterilkan atau mengisolasi dari pengaruh luar, ketahanan budaya tentu lebih pada proses adaptasi yang dinamis.

Harus diakui, globalisasi memiliki banyak pengertian. Di satu sisi, globalisasi smenjadi emacam penciutan dunia (istilahnya kampung global). Di sisi lain, globalisasi adalah penyatuan dunia, namun bukan berarti penyeragaman budaya. Yang jelas hingga kini, sebagian besar ilmuan masih berselisih pendapat soal pengertian globalisasi. Bahkan definisi yang mereka ajukan masih menyisakan banyak ketidakjelasan.

Namun demikian, setidaknya ada dua perspektif utama mengenai globalisasi. Perspektif pertamaberkeyakinan bahwa globalisasi merupakan sebuah strategi untuk penyeragaman dan memberikan model sistem nilai yang tunggal di tingkat global. Seluruh budaya lokal akan digerus dalam proyek globalisasi sehingga pluralitas yang ada akan berujung pada sebuah tatanan tunggal. Perspektif ini lahir dari pandangan yang berkembang di kalangan pemikiran dan politisi Barat, khususnya pada abad ke-18.Globalisasi dalam pengertian ini, semacam ruang dua kutub mengenai isu identitas budaya, sosial, dan nasional, sedang di sisi lainnya mereka melontarkan ide pemusnahan identitas lokal. Dengan mencermati perkembangan dalam beberapa dekade terakhir ini, tampak jelas adanya upaya para politisi negara-negara Barat, semacam AS berusaha menyeret dunia menuju tatanan tunggal berdasarkan nilai-nilai Barat. Sebagian besar ilmuan bahkan menyebut model globalisasi kultural semacam itu sebagai imperialisme budaya yang lebih terkesan nyata di lingkungan media massa dan seni. Sebagai contoh, acara-acara televisi, filem, dan musik pop merupakan perangkat utama imperialisme budaya. Dengan demikian, seni bisa menjadi perangkat paling efektif di berbagai bidang yang bisa membantu para perancang globalisasi kultural merealisasikan ambisinya.

Sedangkan perspektif kedua, globalisasi berseberangan nyata dengan perspektf pertama. Berdasarkan pandangan kelompok kedua ini, globalisasi berjalan dengan penguatan budaya dan seni lokal. Mereka berpendapat, meski dunia saat ini sedang mengalami proses globalisasi, namun bangsa-bangsa dunia tidak menyerah begitu saja. Kekuatan dan kemampuan budaya lokal dan regional juga dirasa makin menguat.

Seorang peneliti asal India, Doktor Abhay Kumar Singh pernah mengatakan, globalisasi dalam bentuk awalnya, sebagai bencana bagi kebudyaaan lokal. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang kaya kebudayaan. “Bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha bahwa seni budayabisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal,“ kata Singh.

Perspektif yang kedua tentang globalisasi ini mulai muncul dan berkembang pada akhir abad ke-20. Hingga masa-masa awal millenium ketiga, perdebatan soal globalisasi masih belum juga usai. Para pakar dan peniliti sosial masih asyik berwacana tentang perangkat dan pengaruh globalisasi terhadap budaya dan seni masyarakat. Makin berkembangnya teknologi infomasi, komunikasi, dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia di awal abad ke-21 membuat batas-batas geo-politik negara tak lagi berperan penting. Kekhasan utama abad sekarang adalah begitu cepatnya proses pertukaran informasi. Karena komunikasi elektronik berjalan setiap saat yang menyambung berbagai ruang yang terpisah seakan menyatu. Jaringan komunikasi global telah menjadikan manusia berkuasa untuk mengalami dunia sebagai satu unit.

Dunia saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada. Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan bisa diminimalisasikan dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi dan hegemoni kekuatan adidaya. Dan, globalisasi harus direspos sebagaipeluang terciptanya kesempatan-kesempatan baru.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Awas hegemoni Televisi Rating: 5 Reviewed By: Unknown