728x90 AdSpace

Latest News
17 October 2012

Pendidikan Kritis Kaum Tertindas

Aku membaca buku ini Tahun 1988 dan entah kemana buku itu. Terakhir kali aku dapat buku itu di toko buku pojok TIM, lagi-lagi setelah kulahap dengan pelan-pelan buku itu menghilang lagi. Tapi aku sudah membacanya lebih satu kali, mencoba mendialogkannya dengan banyak orang terutama kaum tertindas yang ada dalam jejak perjalanan hidupku.  Dalam memahami pendidikan kaum tertindas, Freire mencoba memaparkan siswa sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya kaum tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas, atau penindas kecil. Dalam pikirannya selalu melekat ketidakmungkinan untuk terlepas dari belenggu kekuasaan, dan oleh karena itu upaya untuk menindas kembali merupakan suatu hal yang dapat sedikit meringankan beban mereka. Semua ini terjadi karena pada momentum tertentu, dalam pengalaman eksistensial mereka cenderung mengambil sikap “melekat” kepada penindasnya. Dalam keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan dapat melihat “manusia baru” karena manusia itu harus dilahirkan dalam pemecahan kontradiksi ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah pembebasaDalam konteks kesadaran kritis benda-benda dan fakta-fakta ditampilkan secara empirik, dalam kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam pengertian lain, kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri dengan realitas, yang pada akhirnya lambat-laun akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Karena sekali manusia menemukan dan menangkap adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka ia akan bertindak.

Konsep pendidikan melalui kesadaran kritis merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosiohistoris.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis, kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.

“Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia. Menjadi manusia adalah mengalami dunia sebagai realitas objektif, yang tidak bergantung pada siapapun. Sedang binatang tenggelam dalam realitas dan tidak dapat berhubungan dengan dunia…mereka (manusia) tidak hanya di dalam dunia, tetapi ada bersama dengan dunia…Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka memahami data-data objektif dari realitas melalui refleksi dan bukan refleks seperti halnya binatang…dan dalam setiap aktivitasnya manusia selalu berhubungan dengan dimensi waktu yang membentuk sejarah kebudayaan manusia.

Dari kemampuan kritis tersebut manusia mampu untuk merubah pilihan dan mengubah realitas. Karena seseorang tidaklah utuh bila ia kehilangan kemampuan memilih. Manusia yang utuh adalah manusia sebagai subjek dan mampu bereksistensi (to exist). Dalam hidup manusia tidak boleh mendapatkan intervensi dalam bentuk opresi dari manapun, karena bentuk penindasan akan mereduksi eksistensi dari manusia itu sendiri. Namun, apa yang sedikit banyak terjadi dalam dunia yang sudah dikotak-kotakkan menjadi “dunia-dunia” adalah bahwa manusia pada umumnya sudah ditindas, direndahkan, diubah menjadi penonton, diarahkan oleh mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang penuh kuasa. Dalam pengertian lain pada saat ini seluruh aspek kehidupan manusia telah dipenuhi oleh penindasan karena praktik kekuasaan.

Oleh karena itu, setiap manusia kini dituntut untuk menumbuhkan suatu “kesadaran kritis” yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah, keterangan-keterangan yang bersifat magis digantikan oleh prinsip-prinsip sebab akibat, menolak peran-peran pasif dengan lebih mengedepankan dialog, dan tidak akan pernah berhubungan dengan kekerasan dan penindasan. Kesadaran kritis juga harus dibarengi dengan “conscientizacao” yang mencerminkan perkembangan bangkitnya kesadaran


Penyadaran Dan Pembebasan

Perkenalan singkat dengan Filsafat Pendidikan Paulo Freire
Dua buah buku hasil karya Paulo Freire yakni Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of Opressed), Penguin Books 1978; edisi Indonesia diterbitkan oleh LP3ES, 1985, dan Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan (Cultural Action of Freedom, Penguin Books, 1977), adalah buku yang banyak dikutip sehingga telah menjadi bacaan klasik dalam kepustakaan ilmu sosial. Kedua buku ini menjadi bahan dasar dalam makalah singkat ini.

Tulisan singkat tentang Filsafat Paulo Freire ini mungkin tidak sampai menggambarkan kelengkapan dan kedalamannya, bahkan bisa saja terjebak pada penyederhanaan dari gagasannya, bahkan mungkin akan mengesankan bahwa gagasan Freire bukanlah gagasan yang benar-benar “baru”. Oleh karena itu, ada baiknya untuk membaca langsung buku dengan judul yang ditulis di atas.

Manusia dan Dunia: Pusat Masalah
Filsafat Freire bertolak dari kenyataan bahwa di dunia ini ada sebagian manusia yang menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain, justru dengan cara-cara yang tidak adil. Kenyataannya, kelompok manusia yang pertama adalah bagian mayoritas umat manusia, sementara kelompok yang kedua adalah bagian minoritas umat manusia. Kondisi yang tidak berimbang ini, adalah tidak adil. Inilah yang disebut Freire sebagai “situasi penindasan”.

Bagi Freire, penindasan apapun alasannya, tidak manusiawi karena menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini bersifat mendua. Pertama terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas; kedua terjadi juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati.

Karena itu perlu ikhtiar memanusiakan kembali manusia. Dan ini satu-satunya pilihan. Sebab meskipun penindasan ini merupakan kenyataan, tetapi ia bukan sebagai keharusan sejarah. Kenyataan ini telah menyimpang dari keharusan. Maka menjadi tugas semua orang untuk mengubahnya agar sesuai dengan yang seharusnya.

Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah manjadi pelaku atau subyek. Panggilan manusia adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau yang mungkin menindasnya. Realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”.

Manusia harus menggeluti dunia dan realitasnya dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan hal itu berarti mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran yakni bahwa hakekatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya, yang dengan bekal pikiran dan tindakannya ia merubah dunia dan realitas. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini tujuan akhir dari upaya humanisasinya Freire. Dengan demikian, humanisasi, juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia.

Pembebasan: Hakekat Tujuan
Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi kedua-duanya. Karena kebutuhan obyektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi tersebut.

Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan ajegnya :
  1. Pengajar
  2. Pelajar atau anak didik
  3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar sementara yang ketiga adalah obyek yang disadari.

Berbeda halnya dengan sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini yang menurut Freire diandaikan sebagai sebuah “bank”. Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan gaya “bank” itu sebagai berikut :
  1. Guru mengajar, murid belajar
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan
  4. Guru bicara, murid mendengarkan
  5. Guru mengatur, murid diatur
  6. guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurut
  7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru
  8. guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan
  9. guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid
  10. guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.

Filsafat pendidikan Freire diberinama “pendidikan kaum tertindas”, yakni sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Pendidikan Freire bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas itu.

Begitulah kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup seseorang.

Bertindak >> berfikir >> bertindak >> berfikir >> dst

Pada saat bertindak dan berpikir, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirnya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, maka setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu pula, model pendidikan ini disebut juga “pendidikan hadap masalah”. Jadi dalam model ini, anak didik menjadi subyek, demikian halnya guru. Murid dan guru saling belajar.

Penyadaran: Inti Proses
Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka model pendidikan Freire dengan segera dapat menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan, penjinakkan dan penindasan”, maka pendidikan ini secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran.

Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang itupun mulai masuk ke dalam proses mengerti dan bukan proses menghafal. Maka di sini letak dan arti penting dari kata-kata, karena kata-kata dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Jadi, model pendidikan ini mestilah memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri.

ANDRAGOGI
Perubahan Tujuan Pendidikan
Umumnya teori pendidikan didasarkan pada anggapan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengalihkan seluruh pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Asumsi ini menyiratkan dua hal: (1) bahwa jumlah pengetahuan cukup sedikit untuk dikelola secara menyeluruh oleh sistem pendidikan, dan (2) bahwa kecepatan perubahan yang terjadi dalam tata-budaya atau masyarakat cukup lamban sehingga memungkinkan untuk menyimpan pengetahuan dalam kemasan tertentu serta menyampaikannya sebelum pengetahuan itu sendiri berubah.

Tetapi kecepatan dan banyaknya perubahan dalam masyarakat telah menimbulkan pertanyaan terhadap “teori pengalihan pengetahuan” (transformasi pengetahuan) melalui pendidikan. Dari pada sekedar mengalihkan semua yang kita ketahui, maka barangkali tujuan kita yang sesungguhnya adalah menimbulkan dorongan dalam diri peserta didik keinginan untuk melakukan proses penemuan sepanjang hidupnya terhadap apa saja yang memang dibutuhkan untuk diketahui.

Dengan demikian, pendidikan tidak lagi merupakan sebuah kegiatan yang terutama diperuntukkan bagi anak-anak, dan tanggung jawab untuk menetapkan apa yang harus diajarkan dan yang akan dipelajari beralih dari tangan guru ke tangan murid. Pendidikan, sebagai suatu proses seumur hidup, dengan demikian akan mampu memenuhi kebutuhan kita dan pengalaman kita yang juga terus berubah.

Hidup ini sendiri adalah pengalaman pendidikan. Confusius pernah menekankan pentingnya arti belajar dari pengalaman, ia menyatakan :
“Saya dengar dan saya lupa”
“Saya lihat dan saya ingat”
“Saya lakukan dan saya paham”.

Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi
Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan proses sebagai berikut:
  1. Menciptakan iklim untuk belajar
  2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
  3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan, dan nilai-nilai
  4. Merumuskan tujuan belajar
  5. Merancang kegiatan belajar
  6. Melaksanakan kegiatan belajar
  7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai)
  8. Merancang kegiatan belajar
  9. Melaksanakan kegiatan belajar
Dari proses di atas, dapat tergambar bahwa andragogi adalah sebagai model sistem belajar yang dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai suatu proses perkembangan yang berkelanjutan untuk belajar sistem orang dewasa.

Fungsi utama dari seorang guru (fasilitator) dalam kegiatan yang bersifat andragogis adalah mengatur dan membimbing proses andragogis itu sendiri, ketimbang mengatur “isi” pelajaran sebagaimana halnya dalam sistem pendidikan pada umumnya. Dalam sistem andragogis, fasilitator tidaklah harus “ahli” dalam isi pelajaran, tetapi diperlukan agar proses andragogis itu berjalan secara efektif.

Dari uraian singkat di atas tentang andragogi, maka semakin benderang. Andragogi sebagai kegiatan pendidikan yang berkelanjutan bagi sistem orang dewasa adalah merupakan:
  1. Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman
  2. Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu.
  3. Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, di mana kita secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar kita yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah.

Paulo Freire

Paulo Freire (lahir di Recife Brasil, 19 September 1921 – meninggal di  Sao Paulo, Brasil 2 Mei 1997 pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikuspendidikan yang berpengaruh di dunia.

Kehidupan

Freire dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah, mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.

Pada 1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf, Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan dianggap sebagai teologi pembebasan [1] (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.

Pada 1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.

Pada 1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.

Buku ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai proses liberalisasi.

Setelah setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika, khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.

Pada 1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São Paulo.
Pada 1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire, yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal.

Pada 1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire.

Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997.
Referensi
  1. Lownd, Peter. http://www.paulofreireinstitute.org/ PF - life _ and _ work _ by_Peter.html

Penghargaan

  • Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk Pembangunan Internasional
  • Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka bersama istrinya, Elza
  • Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk Perdamaian

Sumbangan teoretis

Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).

 

Menggagas Pendidikan ala Marx

SELAMA ini, Karl Marx lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi- politik dari pada pemikir pendidikan. Buktinya,sampai saat ini, jarang dijumpai diskursus yang menyandingkan Marx dengan dunia pendidikan. Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku Metode Pendidikan Marxis- Sosialis ini, Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan terkemuka.Bahkan,menurut Nurani Soyomukti, penulis buku ini,Marx adalah pelopor dan peletak dasar teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan.

Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya,ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain me-rupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital.
UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial.

Status birokrat kampus -Rektor dan para stafnya- tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus bias mendapatkan laba sebesarbesarnya dari peserta didik. Institusi pendidikan saat ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya,kalau pasar menjual bahan sembako domestik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, maka perguruan tinggi menjual jasa pendidikan.

Mulai dari tenaga pengajar (dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang seper canggih.Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi yang hanya memikirkan profit. Tidak heran,kalau makin hari biaya lembagapendidikankian melonjak.
Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah ke bawah. Semakin canggih dan lengkap fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Secara historis, bibit kapitalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto.

Ketika itu, yang menjadi panglima adalah pembangunan.Pertumbuhan ekonomi pada rezim Orde Baru dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, lembaga pendidikan sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang berkonsentrasi di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran,akuntansi, kesekretariatan maupun berbagai bidang lain,merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme. Kehadiran SMK diharapkan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja infrastruktur pembangunan.

Sekolah kejuruan menjadi idaman dan pilihan para orangtua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja. Penekanan keterampilan teknis seperti ini menyebabkan pendidikan terjerumus dalam pragmatisme. Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan.

Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusiamanusia yang tidak peka terhadapbobroknya realitaskebangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi. Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis-Sosialis yang menjadi counterpart atas pendidikan kapitalisme yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas Marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan.

Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).
Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati.

Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal (radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 % orientasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi), menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Redaksi. Kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan akan dibuang ke laut.

Item Reviewed: Pendidikan Kritis Kaum Tertindas Rating: 5 Reviewed By: Unknown